Beranda > Desain Arsitektur - Architecture Design, Lingkungan - Environmental, Sosial - Social, Tata Ruang - Spatial Planning > CREATIVE COLLABORATION IN THE IMPLEMENTATION OF PRESIDENTIAL ACT ON REGULATING, REVITALISING AND BUILDING SYNERGY OF THE TRADITIONAL MARKETS, SHOPPING CENTRES AND MODERN MARKETS IN INDONESIA
  1. Maret 24, 2010 pukul 9:18 pm

    waaaah lengkap bangetttttt

    • Maret 24, 2010 pukul 10:15 pm

      Terimakasih atas masukkannya, tetapi saya sebenarnya masih baru dalam bidang ini.
      Semoga sama – sama bisa membangun. BTW Blog Anda juga menarik!
      Selamat ya!

  2. made
    Maret 25, 2010 pukul 8:26 am

    Wah terimakasih pak atas pencerahannya pak Gun, oya satu pertanyaan dari saya apakah kegiatan ini sudah di implementasikan oleh pemerintah? Mengingat ide ini sangat baik guna kemajuan bangsa. Makasih&Salam.

    pencerahannya, oya satu pertanyaan dari saya apakah kegiatan ini sudah berjalan? Dan sudah di implementasikan oleh pemerintah pak?, mengingat kegiatan ini sangat baik guna kemajuan bangsa.

    • Maret 25, 2010 pukul 11:37 am

      Salam Pak Made,
      Saya sebenarnya menyusun konsep ini untuk salah satu Tim Ahli
      Bu Menteri Perdagangan, Dr. Marie Elka Pangestu.
      Tetapi karena ketidak cocokan maka kerjasama itu gagal.
      Kami berharap dapat memaparkan konsep ini pada kesempatan Seminar Arte-Polis di Bandung
      kepada Beliau dan tim terkait Bulan Juli tahun ini.
      Selain itu kami juga memang sedang mengembangkan komunikasi dengan Pemda
      Jatim dan Madura. Siapa tahu memang ada yang tertarik dan terpanggil untuk menerapkannya.
      Silahkan berbagi dengan pihak – pihak lain jika Anda mengetahuinya.
      Salam!

      • Maret 25, 2010 pukul 11:16 pm

        Komentar dari rekan dari Forum AMI

        ini berita di kompas tentang pasar, semoga berguna

        saya juga gelisah mengenai semakin berkurangnya pasar tradisional di seluruh indonesia setiap tahunnya

        pasar cikini pun akan dihilangkan..diganti dengan mall atau apa lah ngga tahu..akan ditutup mulai tanggal 26 maret ini
        alasan pada umumnya adalah… pasar tradisional tidak menguntungkan… jad ilebih baik dikelola swasta
        (pertanyaannya..menguntungkan untuk siapa? pedagangnya merasa untung koq..cukup untuk hidup mereka)

        salam,

        silvia

        ———————————————————-

        http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/15/03185351/pasar.tradisional.terjepit

        Pasar Tradisional Terjepit

        Banyak Peraturan untuk Membatasi Ekspansi Ritel Modern

        Senin, 15 Maret 2010 | 03:18 WIB

        Jakarta, Kompas – Pedagang dan pasar tradisional kian terjepit oleh ekspansi usaha ritel modern. Dalam rentang waktu tahun 2003-2008, pertumbuhan gerai ritel modern fantastis, yaitu mencapai 162 persen.

        Bahkan, pertumbuhan gerai minimarket mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun tersebut cenderung stagnan.

        Pesatnya pertumbuhan ritel modern itu seiring gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada tahun 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai.

        Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, gencarnya ritel asing masuk ke Indonesia karena aturan yang ada memang sangat terbuka. ”Jadi, mereka tidak melanggar aturan. Aprindo pun tak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

        Namun, Direktur Hubungan Korporat PT Carrefour Indonesia Irawan D Kadarman membantah bahwa ritel modern makin ekspansif belakangan ini. Menurut dia, pembukaan gerai baru Carrefour justru menurun jumlahnya. ”Tahun 2006 Carrefour Indonesia membuka sembilan gerai. Tahun-tahun berikutnya tak sebanyak itu,” katanya.

        Saat ini jumlah gerai yang di bawah manajemen Carrefour Indonesia ada 46 gerai, sementara yang di bawah PT Alfa Retailindo Tbk berjumlah 33 gerai. Carrefour mengakuisisi Alfa Retailindo.

        Keluhan dari kalangan pedagang di pasar tradisional atas gencarnya penetrasi ritel modern sudah sering dilontarkan. Di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, misalnya, hampir semua pedagang di pasar itu mengeluhkan turunnya omzet mereka sejak ritel dan pasar modern berdiri di sepanjang Jalan Malioboro, yang menjadi lokasi Pasar Beringharjo.

        Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Provinsi DI Yogyakarta menyebutkan, dalam periode tahun 2002-2006 jumlah pasar modern di DIY tumbuh lebih dari 55 persen. ”Omzet pedagang pasar tradisional rata-rata turun 35 persen dibanding tahun 2006,” kata Ketua Forum Silaturahmi Peguyuban Pasar Seluruh Kota Yogyakarta Ujun Junaedi.

        Hasil kajian Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, kehadiran satu toko ritel waralaba modern membuat setidaknya omzet 14 pedagang grosir merosot, apalagi saat ini banyak pasar dan ritel modern yang didirikan di dekat pasar tradisional. ”Bahkan, satu toko swalayan yang menyediakan aneka komoditas kebutuhan rumah tangga berdiri tepat di belakang Beringharjo. Pedagang Beringharjo sempat berang, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” kata Ujun.

        Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan potensi bagi pasar ritel. Apalagi, kata Tutum, gaya hidup masyarakat dalam berbelanja mulai beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Dengan demikian, mengembangkan pasar ritel modern adalah peluang bisnis yang menjanjikan.

        ”Dan setiap pebisnis ritel selalu berdalih bahwa untuk pengembangan usaha dibutuhkan dana segar. Ironisnya tidak ada investor lokal yang kuat bersaing dengan asing. Akibatnya, kepemilikan saham sedikit demi sedikit dimiliki investor asing,” kata Tutum.

        Oleh karena itu, jika ingin melindungi pedagang ritel tradisional, kuncinya ada pada regulasi pemerintah. ”Semestinya Indonesia menerapkan sistem investasi dengan perencanaan yang matang, seperti di China. Investor asing bukan hanya harus bermitra dengan pengusaha lokal, tetapi juga menerapkan sistem deposit sebelum rencana bisnis dilakukan,” tutur Tutum.

        Dengan aturan itu, lanjut Tutum, kalau investor asing berencana membuka toko, nilai investasi yang harus dideposit sudah ditentukan terlebih dahulu. Uang deposit itu dapat digunakan sebagai jaminan apabila kebijakan pemerintah menyangkut usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai pemasok pasar modern dilanggar oleh investor asing.

        Pentingnya regulasi pemerintah juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (DPD Aprindo) Jawa Tengah Budi Handojo Soeseno. Regulasi itu tidak hanya untuk menciptakan persaingan bisnis yang adil, tetapi juga untuk mencegah timbulnya gesekan sosial. Peran pemerintah daerah dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan mencegah gesekan sosial, menurut Budi, sangat besar.

        Aturan sudah banyak

        Sebenarnya peraturan yang mengatur tentang usaha ritel telah cukup banyak. Di tingkat pusat saja setidaknya ada 10 peraturan yang mengatur tentang usaha ritel, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 118 Tahun 2000 tentang Perubahan dari Keppres No 96/2000 tentang Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung hingga yang terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern dan Permendag No 53/2008 tentang Pedoman Penataan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

        Bahkan, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, sudah ditetapkan aturan tentang investasi asing di sektor usaha ritel.

        ”Investor asing hanya boleh masuk di level hipermarket dan supermarket. Luas lahan di atas 1.200 meter persegi, di bawah itu hanya boleh franchise (waralaba) atau waralaba milik orang Indonesia. Untuk minimarket, ada aturan jam buka, yaitu pukul 10.00-22.00. Sementara orang ke pasar hanya sejak subuh hingga sekitar pukul 08.00,” kata Mari.

        Namun, kenyataannya aturan jam buka bagi minimarket itu tidak berlaku. Banyak minimarket yang sudah beroperasi sejak pukul 07.00. Bahkan, ada sejumlah minimarket yang kini buka 24 jam dan menjual komoditas segar, seperti sayuran dan bahan pangan lain yang dijual di pasar tradisional.

        Peraturan memang sudah cukup banyak, bahkan masih ditambah dengan berbagai peraturan daerah (perda). Kota Solo, misalnya, saat ini menyiapkan dua perda tentang pasar tradisional dan perda tentang pasar modern.

        Dalam rancangan perda tentang pasar tradisional, misalnya, diatur kepemilikan kios masing-masing pedagang tak boleh lebih dari empat dan persentase antara jumlah kios dan lapak 70 persen berbanding 30 persen.

        Adapun dalam rancangan perda tentang pasar modern, menurut anggota DPRD Kota Solo, Swantinawati, diatur antara lain tentang zonasi daerah, jarak pasar modern dengan pasar tradisional. Namun, faktanya, pasar tradisional tetap terpojok. (OSA/ARN/ARA/DEN/UTI/GAL)

      • Maret 25, 2010 pukul 11:17 pm

        Komentar dari P Sutan Djio dari Kompasiana

        Pasar Tradisional seharusnya diberi subsidi, misalnya biaya operasional dan perawatan gedung ditanggung o/ pemerintah; shg dgn dmk harga bs lbh murah/bersaing; krn di psr tradisional baik pembeli maupun penjual adalah dr kalangan bawah. Kalangan atas maunya berbelanja di tempat yg bersih dan nyaman, dan bersedia membayar harga yg lbh tinggi untuk itu.
        Dgn adanya otonomi daerah yg lbh bertgjwab adl pemda; pasar2 tradisional yg mengelola langsung adalah pemda, bkn pem pusat.

      • Maret 25, 2010 pukul 11:20 pm

        Terimakasih untuk masukkan Ibu Silvi dan Pak Sutan
        Kami percaya bahwa Pasar Tradisional perlu dibantu pengembangannya
        dilindungi untuk waktu tertentu, dikembangkan daya saingnya
        Kemudian manajemennya dipersiapkan agar siap berkembang.

        Pedagangnya dibantu permodalan, teknis dan juga pemasarannya jika perlu

        Penataan Pasar bisa dilakukan jika keinginan seluruh pihak dapat terwadahi
        dan studi kelayakannya cocok
        Semoga bisa menjadi masukkan bagi Pemerintah kita saat ini!

        Salam

      • Maret 27, 2010 pukul 11:14 am

        Dari RSGISForum: Share Riset Green Impact Indonesia
        Trimkasih bnyak Mas, InsyaAllah akan sangat berguna.
        Sy tugas di Dinas PU Cipta Karya Pemkab Cirebon sangat snang dng sharing ini.
        Salam kenal

        Yayan Hendriyan

      • Maret 28, 2010 pukul 4:29 am

        Respon dari Pak Tomo, Dari forum AMi – Permasalahan Pasar Tradisional vs Pasar Modern

        Pak Gunte,

        Dahulu saya memang pernah terlibat dalam riset PKL di Kabupaten Sleman terutama
        di seputaran Kampus UGM (Barat GSP dan Kantor Pusat UGM), Utara RS Panti Rapih,
        Jalan Colombo, Kledokan hingga Babarsari. Keberadaan mereka akan terus
        tergusur dengan pemodal besar yang akan berada di sekitar mereka ataupun
        ketidakberpihakan pemerintah.

        Untuk pasar tradisional, ada hal yang menarik di tempat tinggal saya di
        Gamping. Dulu ketika saya kecil, pasar tradisional sederhana saja lalu ada
        tukar guling. Pasar tradisional pindah ke seberang jalan, bekas pasar
        tradisional menjadi ruko.

        Sesuai berjalannya waktu, muncullah sebuah swalayan di depan pasar tradisional
        tersebut. Berjalannya waktu lagi, muncul pasar pusat sayuran dan buah dan
        pasar sentral. Kesemuanya itu tradisional. Beberapa bulan ini saya baru lihat,
        muncullah indomaret yang menjadi satu dengan pasar sental tersebut. Padahal
        dalam jarak sekitar 1,5 km ada juga indomaret.

        Beda di Kabupaten Bantul, Bupati Idham Samawi (saya ada kontaknya jika bermintay
        saya akan pm) setahu saya menolak pasar modern atau supermarket di Bantul dengan
        membuat peraturan untuk melindungi pasar tradisional untuk tetap hidup.

        Saya juga pernah melihat sebuah pasar tradisional hilang di Jalan Oerip
        Soemohardjo yang berada di lantai 2 (lantai 1 berupa ruko). Setelah pasar
        menjadi mall tetapi tidak laku sekarang menjadi call center sebuah operator
        seluler. Jika dilihat pasar secara nilai ekonomi tidak besar tetapi jika
        dialihfungsikan akan menghasilkan uang yang besar.

        Saat ini yang akan direlokasi adalah Pasar Ngasem yang berdekatan dengan
        Tamansari, akan dimulai relokasi Bulan April rencananya. Bekasnya akan
        dikembalikan sebagai fungsi utama bagian dari Tamansari (katanya).

        Jika dilihat dari luas Kota Jogja, Jogja ini kecil kotanya hanya butuh waktu
        kira kira 30 menit untuk mencapai pusat kegiatan. Mulai diserbu dengan namanya
        Circle K, Indomaret, Alfamart dan sebagainya. Ini kadang bertetangga atau hanya
        berbeda beberapa meter saja.

        Saya jadi ingat sebuah iklan property yang setiap sabtu muncul di Metro TV
        tentang pasar basah di salah satu perumahan di Jakarta Utara. Apakah pasar
        tradisional harus modern seperti itu dengan perbandingan dengan pasar
        tradisional singapura? Setiap daerah memiliku ciri khas masing-masing dalam
        pasar tradisionalnya, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

        Tapi ada yang menarik, pemodal besar menjadi pkl, sedangkan pkl menjadi pemodal
        besar.

        Salam,

        Tomo Hendrawan

      • Maret 28, 2010 pukul 4:35 am

        Pak Tomo Yth

        Saya setuju dengan masukkan Pak Tomo, bukan berarti setiap pasar harus jadi modern. Perlu dikaji kondisi sosial ekonomi kawasan yang dilayaninya. Selain itu juga perlu ditanyakan kepada stakeholders apakah pasar2 tsb perlu revitalisasi. Saya rasa jawabannya perlu tetapi levelnya harus sesuai dengan keinginan pedagang, konsumen, manajemen pasar bahkan investor dan Pemda. Kalau bisa dilakukan stakeholders forum dan pemberdayaan sosial sebelum direvitalisasi.

        Kami juga mengusulkan kepada Menteri Perdagangan untuk melakukan proses ini. Sayangnya proyek seperti ini cukup pendek hanya 1 tahun harus bisa terbangun Pasarnya. Jadi sia – sia ngomong pemberdayaan.
        Biasanya langsung gusur dan terus dibangun baru. Pedagang langsung diusir. Coba saja lihat kondisi akhir2 ini. Karena katanya ada 140 M untuk dana ini.

        Utk PKL juga perlu diatur agar tidak semrawut. Mungkin bisa dibuat di Jalan2 yang tidak ramai atau pedestrianised road. Tentu saja dengan pemberdayaan dan kesepakatan stakeholders.

        Terimakasih untuk informasinya
        Salam

      • Maret 28, 2010 pukul 10:27 am

        Respon P Rozald dari forum AMi Permasalahan Pasar Tradisional vs Pasar Modern

        fenomena seputar pasar tradisional
        harga jual sulit murah, karena:

        1. biaya non teknis/ preman dll bertumpuk, 2 atau 3 kali (atau lebih):
        aparat pemda/ pasar jaya, kelurahan/ kecamatan, preman setempat.
        sumbangan untuk warga, dll
        2. biaya modal tinggi: rentenir, bank
        pasar, dll ( apalagi akses ke
        modal ini pun sangat terbatas)
        3. umumnya yang dijual adalah komoditi yang tidak tahan lama/= tidak
        laku buang, dan cenderung seragam. perlu pengaturan dan diversifikasi komoditi.
        4. kartelisasi dari sekelompok pedagang (dalam wadah organisasi koperasi pasar)=
        sekelompok pedagang kaya yang berlindung dibalik baju pedagang miskin
        5. banyak ormas (bahkan orsospol) bermain didalamnya
        6. dll (masih banyak lagi)

        walaupun sarana-prasarananya diperbaiki, namun apabila infrastruktur
        ekonomi penunjang kegiatan ber’dagang’nya tidak tersentuh, tidak
        akan bisa membuat pasar tradisional mampu bersaing dengan pasar/ ritel
        modern.

        ini hanyalah gambaran paling sederhana. persoalan sebenarnya mungkin lebih
        ‘berat’.

        mental pedagang pasar pun pada akhirnya menjadi ‘rusak’ karena kondisi-kondisi
        ini.
        diperlukan perbaikan yang menyeluruh dan komprehensif untuk membantu para
        pedagang pasar tradisional ini.

        Rozald

      • Maret 28, 2010 pukul 10:29 am

        Respon dari Pak Rully dari forum AMi – Permasalahan Pasar Tradisional vs Pasar Modern

        tambahan (dan ini selalu jadi alasan pengelola pasar modern)
        harga jual sulit murah, karena:

        7. cara pembelian dengan partai besar memungkinkan pasar modern memperpendek
        rantai distribusi karena membeli langsung dari pabrik.
        8.cara pembelian dengan partai besar memungkinkan pasar modern untuk menekan
        harga dari produsen
        9.variasi merchandise yang banyak memungkinkan pasar modern melakukan subsidi
        silang dan menjual beberapa produk lebih rendah dari harga belinya (yang mana
        sulit dilakukan pasar tradisional)
        10. cara pembayaran yang mundur ke produsen memungkinkan pasar modern memutar
        uangnya dahulu (dan ini sebenarnya inti bisnis mereka)
        11. karena bekerja dibawah satu manajemen, memungkinkan pengelolaan pasar modern
        jauuuhhhh lebih efisien
        12. jaminan traffic pengunjung yang tinggi memungkinkan pasar modern menerapkan
        fee listing merchandise kepada pemasok.
        13. dengan modal yang besar walaupun tidak harus membeli tanah, membuat pasar
        modern bisa menyediakan parkir yang berlebihan, dibanding pasar tradisional yang
        selalu bermasalah dengan parkir
        14. metoda dan fasilitas penyimpanan
        15….masih banyak lagi…

        Intinya memang tidak mungkin pasar tradisional menyaingi pasar modern, jadi
        memang harusnya pasar modern hanya boleh ada jaaaauuuuhhhh di pinggir kota dan
        jauuuuhhhhh dari pasar tradisional sehingga pasar tradisional bisa hidup, orang
        mau kesana karena untuk ke pasar modern relatif jauh dan hanya dilakukan untuk
        pembelanjaan rutin bulanan bukan harian.

        Kehidupan di pasar tradisional ini penting karena disana “soul” kota bisa
        terasa, diantara transaksi pedagang-penjual, diantara becek kios daging dan
        ikan, diantara display berantakan toko kelontong…

        Salah satu retailer asing di Indonesia yang berasal dari salah satu negara Eropa
        (yang menaranya terkenal itu) cerita bahwa di Indonesia ini mereka jauh lebih
        nyaman karena di negara asalnya mereka tidak bisa sembarangan buka toko kalau
        disana ada local market, atau ada rencana dibuat local market, dan hanya boleh
        buka toko yang kecil. Sementara disini seakan tinggal tunjuk jari …beres.
        hadooohhhh apa pula ini

        Pengetahuan ini hasil beberapa tahun bekerja dan melayani client pasar modern
        dan berhasil mewawancarai pelaku pengelola pasar modern.

        r.heriawan
        architect

      • Maret 28, 2010 pukul 10:32 am

        Terimakasih Pak Rozald dan Pak Rully buat tambahan informasinya
        Jadi harus bagaimana kita sekarang?

        Ketika kami menyusun konsep ini, sempat kami menjadi “Konsultan Proposal” atau Konsultan yang hanya membuat Proposal. Sekarang jadi “Konsultan Mimpi” atau Konsultan yang hanya bermimpi.

        Semoga suatu saat nanti, ada Aparat Pemerintah yang ingin menerapkan semua masukkan yang positif ini.
        Terimakasih

  3. eppel
    Maret 29, 2010 pukul 2:16 am

    Dear Gunte,

    sorry hanya baca sekilas, tapi menimbang pasar tradisional dan modern, rasanya selama tingkat ekonomi masyarakat tidak menaik secara merata dan signifikan, pasar tradisional akan terus hidup, baik secara legal maupun ilegal. No worries!

    Sebagai penghuni daerah pasar tumpah, (sedikit curhat judulnya) mau tak mau saya merasa kesal harus melihat tumpukan sampah yang masuk ke selokan maupun menumpuk di depan rumah setiap harinya, dan lalat-lalat maupun comberan berbau yang banjir di musim hujan. Di lain pihak, saya juga merasa kehadiran pasar ini memang benar-benar “menghidupkan” banyak orang, termasuk saya yang jadi konsumen.

    Terlepas dari pro kontra pasar tradisional maupun modern, yang pasti sebagai konsumen kalau bisa saya akan memilih pasar yang bersih dan nyaman, tidak berarti harus dengan gedung mewah, lantai perkerasan dan ruang ber-AC dan pengharum semprot, yang penting:

    1. SAMPAH terkelola dengan baik.
    sampah = sumber bau, vektor penyakit, dan gangguan terhadap infrastruktur kota, yang terlihat jelas pada umumnya pasar tradisional yang kini sudah mengenal plastik dan turunannya. (yang menjadi satu pertanyaan juga sebagai konsumen yang sadar, apakah yang disebut “pasar modern” telah mengelola sampahnya dengan “cara modern” juga??) salah satu inisiatif CSR tentang ini menjadi runner-up BBC World Challenge, dengan project pengomposan sampah organik di pasar tradisional. betapa ideal jika di tiap pasar (modern maupun tradisional) telah tersedia tempat pemilahan sampah dan sistem daur ulang yang tepat guna (bukan dengan mendaur-ulang makanan seperti yang heboh diberitakan beberapa waktu lalu ;).
    2. DRAINASE terkelola dengan baik.
    untuk masalah drainase, jelas, bukannya takut kuman, tapi alangkah baiknya jika kita bisa mencegah penyebaran berbagai penyakit zoonosis yang diakibatkan ceceran darah, lendir, ataupun kotoran hewan yang dijual. Sebagaimana sampah, limbah memiliki potensi bau dan vektor penyakit.
    3. SANITASI memadai.
    Pernah mengalami membawa anak yang kebelet pipis saat kita berbelanja? Bahkan mall mewah sekalipun terkadang luput memikirkan hal ini. Betapa repot saat kita harus melintasi alley ratusan meter hanya untuk menemukan WC, yang terkadang kondisinya pun jauh dari bayangan modernitas sebuah mall. Apalagi di pasar tradisional… Bukan cuma perkara pipis dan buang air besar (saya teringat masalah open defecation yang dibasmi dengan memperkenalkan WC di desa-desa, tapi masih banyak terjadi di ruang kota), juga masalah cuci tangan (bagusnya kini di beberapa supermarket telah disediakan wastafel kecil plus sabun di samping counter ikan dkk.)
    4. KENYAMANAN RUANG (sebetulnya ini mungkin bukan judul yang tepat…) memadai, pada intinya CAHAYA dan VENTILASI yang memadai (yang terlihat seringkali luput pada peremajaan pasar tradisional), terutama mengingat bangsa kita yang perokok (dan ini juga terjadi di pasar modern dengan gedung full AC dan asap rokok maupun knalpot berputar di dalam ruangan! Betapa oh!!)
    5. INFORMASI dan INTERAKSI yang hangat.
    Mungkin ini sekedar romantisme, tapi betapa menyenangkan saat kita bisa dengan mudah bertanya pada pemilik kios dan mendapatkan berbagai referensi, seperti kios tetangga yang menjual barang anu yang kebetulan dia tak ada stok (atau terkadang sang pemilik kios yang mengambilkan); rahasia memasak pepes ikan; cara membedakan telur yang baru dan yang lama saat dicelupkan ke dalam air; plus minus panci merk X dibandingkan dengan merk Y; hingga gosip terbaru dari tayangan infotainment pagi. Dan saat kita dihargai sebagai seorang pelanggan dan menjalin hubungan simbiosis mutualisme, bukan sekedar satu dari sekian konsumen yang harus dicatat data alamat dan teleponnya oleh SPG dan harus terus ditingkatkan jumlahnya sebagai pertanda kemajuan dan ditelepon untuk promosi ini itu hanya demi kepentingan penjualan.

    Menimbang tradisional atau modern, barangkali suatu ketika kita (saya, Anda, para entrepreneur dan arsitek yang visioner, pihak pemerintah pengelola pasar, para pedagang, para pembeli, para produsen, kontraktor) harusnya menemukan titik tengah… melestarikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam relasi antar manusia di pasar tradisional, dan memenuhi tuntutan kepraktisan (modernitas) pasar modern tanpa mengabaikan faktor lingkungan. And everybody’s happy…

    Salam,

    Eveline
    ibu rumah tangga

    • Maret 29, 2010 pukul 9:51 am

      Terimakasih Ibu Eveline untuk komentarnya.
      Saya setuju untuk masukkan Ibu mengenai Perbaikan Pasar Tradisional.
      Dan memang solusi integratif seperti ini yang akan menaikkan kompetensi
      Pasar Tradisional dalam persaingan.

      Tetapi untuk Perlindungan Pasar Tradisional saya kurang setuju.
      Karena sebentar lagi atau sejak Januari akan diterapkan China – ASEAN Free Trade Agreement.

      Sedikit masukkan saja, kalau China-Asean Free Trade Agreement
      atau Pasar Bebas benar – benar berlaku bukan hanya Pasar Tradisional yang akan tergusur.
      Setiap pabrik, perusahaan di Indonesia yang tidak kompetitif akan gulung tikar.
      Selanjutnya keluarga akan kehilangan mata pencahariannya.
      Nanti ekonomi akan makin sulit.

      Jadi mungkin perlu dipikirkan untuk mengurangi dampak persaingan bebas,
      serta menambah kompetensi seluruh UKM dan Usaha di Indonesia,
      termasuk yang beroperasi di Pasar Tradisional.

      Salam Hormat
      Gunawan

  4. April 6, 2010 pukul 2:21 pm

    Retail di Indonesia tetap jaya..

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke gunteitb Batalkan balasan